kabarMagelang.com__Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Magelang menemukan dugaan pelanggaran pencoblosan pada Rabu (14/2/2024) lalu di Desa Sumurarum, Kecamatan Grabag. Dugaan pelanggaran tersebut adanya salah satu warga yang melakukan pencoblosan dua kali di TPS. Satu surat suara milik diri sendiri, dan satu surat suara milik ibunya yang sudah meninggal.
Ketua Bawaslu Kabupaten Magelang M Habib Shaleh mendapat laporan dari pengawas TPS maupun panwasdes melalui Panwascam Grabag terkait adanya pemilih yang menggunakan hak pilihnya dua kali.
“Laporan itu, baru diterima bawaslu pada Sabtu (16/2/2024). Dalam laporan ada pemilih yang sudah meninggal dunia tiga bulan lalu, tapi diketahui mencoblos. Bukan karena bangkit dari kubur, tapi surat suara bersangkutan yang sudah tidak memenuhi syarat (TMS), masih digunakan oleh anaknya," ungkapnya di Kantor Bawaslu Kab. Magelang, Senin (19/2/2024).
Dia menyebutkan bahwa pemilih tersebut berjenis kelamin laki-laki dengan inisial S. Dia menggunakan hak pilihnya di TPS 15 Dusun Bletukan, Desa Sumurarum, Kecamtan Grabag.
“Dia ini selain mencoblos sesuai surat undangan atau formulir C-Pemberitahuan miliknya, juga mencoblos atas nama sang ibu berinisial D yang sudah meninggal dunia tiga bulan lalu,” jelas Habib.
Saat ini, bawaslu masih menelusuri informasi tersebut, dengan mengundang S, petugas KPPS, PPS, PPK, petugas TPS, hingga Panwasdes untuk dimintai keterangan. Selain itu bawaslu juga sedang menggali duduk permasalahan yang dinilai banyak kejanggalan.
"Di sana kampungnya kecil dan masing-masing orang saling mengenal. Tadi juga saya tanya, 'apakah kamu kenal dengan yang meninggal?', banyak yang kenal. 'Apakah ketika meninggal kamu layat?', mereka jawab layat. Mereka itu hadir, mulai dari meninggalnya hingga tahlilan," terangnya.
Itu berarti semua penyelenggara pemilu di TPS tersebut saling mengenal dan tahu jika yang bersangkutan sudah meninggal. PPS juga sudah memberikan salinan DPT bahwa yang bersangkutan meninggal sehingga dicoret. Dalam keterangan juga dibubuhkan bahwa dia meninggal dunia. Sehingga dikategorikan pemilih TMS.
Hanya saja, kata Habib, surat undangan atau formulir C-Pemberitahuan atas nama ibu tersebut diberikan kepada keluarga. Ketika memang diketahui sudah meninggal, seharusnya surat undangan itu ditarik. Tapi, petugas KPPS tidak menarik kembali undangan tersebut.
Habib menyebut, petugas KPPS tidak mengetahui hal itu karena berdalih hanya mengikuti bimbingan teknis (bimtek) sekali saja lewat Zoom Meeting. Tapi, setelah dikonfirmasi kepada PPS, bimtek itu digelar tiga kali.
"Jadi, undangan memilih itu harusnya tidak dibagikan. Tapi, ini justru dibagikan. Kalau sudah tahu, ya harusnya ditarik dan dikembalikan ke PPS," jelas Habib.
Formulir C pemberitahuan tersebut dibuat kesempatan S untuk kembali mencoblos.
"Dia (anak) menggunakan surat suaranya sendiri dan punya ibunya. Seharusnya ketahuan karena di sana ada tujuh orang KPPS dan satu pengawas TPS. Harusnya saling meng-cross check dari awal, tapi ini tidak ada," tambahnya.
Habib menyayangkan dari delapan orang di TPS tersebut, tidak saling mengingatkan. S memang mengisi daftar hadir, menerima surat suara, mencoblos, dan memasukkan surat suara. Namun, dia enggan mencelupkan harinya pada tinta. S berdalih saat hendak mencelupkan, tapi tidak terkena tinta.
“Selang beberapa menit, S kembali ke TPS tersebut dan memcoblos atas nama ibunya. Saat coblosan kedua itu, dia mencelupkan jarinya. Nanti malam kita akan putuskan. Apakah pemungutan suara ulang (PSU) atau tidak," katanya.
Bawaslu saat ini masih menelusuri fakta-fakta di lapangan dan kronologi kejadiannya.
"Kita tidak akan gegabah dan semata-mata cari panggung. Tidak. Memang ini persoalannya seperti apa, kita kaji dan putuskan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku," ujar Habib.
Ketua PPK Grabag Joko Muslim mengatakan, dari pemeriksaan ditemukan bahwa kehadiran di TPS 15 mencapai 100 persen. Jumlah DPT-nya 202 dan DPTb satu orang.
"Setelah di-cross check, ternyata betul (kehadiran 100 persen). Terus saya tanya, berarti yang meninggal, hadir. Ada tanda tangannya," jelasnya.
Hal itu membuat kecurigaan semakin tinggi karena tidak mungkin jumlah kehadiran 100 persen. Setelah ditelusuri, ternyata ada pemilih yang memilih dua kali.
“Atas nama dirinya sendiri dan sang ibu yang sudah meninggal dunia. Petugas KPPS kurang cermat,” pungkas Joko. (Haq).
Tidak ada komentar: