KOTA, kabarMagelang.com__Puncak peringatan Hari Jadi Kota
Magelang ke-1112 tahun ini dimeriahkan dengan grebeg gethuk yang berlangsung di
tengah alun-alun Magelang, Minggu (15/4/2018). Ribuan warga tampak saling
berebut mengambil gethuk maupun palawija yang disusun dalam dua gunungan kakung
putri serta 17 gunungan palawija.
Sementara itu, ratusan pasukan bergodo
juga tampak mengamankan jalannya kegiatan, mulai dari awal hingga akhir
acara.
Walikota Magelang, Sigit Widyonindito
mengatakan, gerebeg gethuk merupakan tradisi yang tiap tahun dilaksanakan dalam
memperingati hari jadi.
"Seperti tahun ini, gerebeg gethuk
masuk dalam rangkaian pokok kegiatan. Ada dua gunungan, kakung putri yang
digerebeg," ujarnya, di sela kegiatan, Minggu (15/4).
Sigit mengatakan, gethuk dan palawija
selalu menjadi bahan pokok yang dikirab dan digrebeg karena memiliki filosofi
tersendiri.
"Filosofinya karena keduanya adalah
lambang kesejahteraan masyarakat Magelang. Dan palawija ini adalah lambang
hasil bumi dimana Magelang dulunya adalah tanah yang memang subur dan
bagus," terangnya.
Pada peringatan hari jadi tahun ini,
lanjut Sigit, partisipasi dan keterlibatan masyarakat semakin tinggi dan luar
biasa.
"Harapan kami, rakyat dapat
memaknai hari jadi ini sebagai hari perenungan, introspeksi. Dan semoga ke
depan, Kota Magelang semakin maju, rakyat sejahtera dan semakin nyaman,"
katanya.
Sementara itu, selain gerebeg gethuk,
puncak hari jadi juga diramaikan dengan pentas sendratari babat tanah Mantyasih
yang terinspirasi cerita sejarah dari Prasasti Poh dan Matyasih tentang asal
usul berdirinya Kota Magelang. Kedua prasasti tersebut menceritakan tentang
Raja Dyah Balitung yang memerintah Kerajaan Mataram Kuno yang menetapkan Kota
Magelang sebagai sebuah daerah merdeka atau perdikan 'Mantyasih'.
Tarian yang melibatkan sekitar 230
penari itu diawali dengan perjalanan masyarakat yang melakukan laku ritual dan
menjadikan Kota Magelang sebagai tempat transit. Terjadilah akulturasi budaya
dan interaksi dengan warga pendatang. Perekonomian di wilayah itu pun menjadi
makmur. Tetapi kondisi itu tak berlangsung lama, semenjak kedatangan gerombolan
pengacau 'Kecu Brandal Rampok' yang mengusik ketenangan masyarakat.
Namun masyarakat pun bangkit dan
bersatu, mereka membentuk kekuatan dan akhirnya mampu membasmi gangguan
keamanan tersebut. Raja Dyah Balitung sebagai raja yang memerintah wilayah
akhirnya memberikan kemerdekaan bagi masyarakat Kota Magelang untuk mengelola
wilayahnya sendiri dan membebaskan dari pajak. Kemerdekaan itu ditandai dengan
Prasasti Mantyasih.
"Tarian yang kami angkat
menceritakan tentang bagaimana Kota Magelang berdiri. Kami berlatih sebulan,
memadukan musik, drama, koreografi," jelas sutradara sendratari babat
tanah Mantyasih, Gepeng Nugroho.(Kb.M1)
Tidak ada komentar: