Header ads

Header ads
Kembangkan Bisnis Kamu dengan Iklan di Kabar Magelang
» » Tambang Tanah Urug dan Ancaman Bencana di Desa Sambeng

Oleh: Khairul Hamzah (Warga Desa Sambeng / Bag Humas GEMA PELITA)

Setiap bencana selalu datang dengan dua wajah: alam dan manusia. Hujan lebat mungkin kehendak alam, tetapi banjir dan longsor kerap kali merupakan hasil dari keputusan manusia. Inilah kegelisahan yang kini dirasakan warga Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, ketika rencana penambangan tanah urug mulai mengancam ruang hidup mereka.

Desa Sambeng bukan sekadar titik di peta. Ia adalah wilayah perbukitan yang selama ini berfungsi sebagai daerah resapan air alami, penyangga ekologi bagi kawasan di bawahnya. Tanahnya menyimpan air, bukitnya menahan limpasan, dan sawahnya menghidupi warga. Ketika tanah urug hendak dikeruk dan bukit diratakan, yang dipertaruhkan bukan hanya bentang alam, tetapi keselamatan manusia.

Pengalaman di banyak daerah di Indonesia sudah memberi pelajaran mahal. Penambangan tanah urug di kawasan perbukitan hampir selalu diikuti oleh rusaknya struktur tanah, hilangnya sumber air, meningkatnya risiko longsor, dan banjir bandang saat musim hujan. Ironisnya, setelah bencana terjadi, penyebabnya kerap disederhanakan sebagai “curah hujan ekstrem”, seolah-olah tidak ada peran manusia di dalamnya.

Yang lebih mengkhawatirkan, warga Desa Sambeng dikejutkan oleh informasi bahwa terdapat daftar nama warga yang disebut telah menyetujui lahannya dijadikan lokasi tambang. Sebagian warga yang namanya tercantum justru menyatakan tidak pernah memberikan persetujuan. Jika benar demikian, maka persoalan ini tidak lagi semata soal lingkungan, tetapi telah menyentuh hak warga, keabsahan persetujuan, dan etika tata kelola pemerintahan.

Pembangunan seharusnya berjalan dengan prinsip kehati-hatian, keterbukaan, dan partisipasi masyarakat. Ketika suara warga diabaikan, dan lingkungan diperlakukan semata sebagai komoditas, maka pembangunan berubah menjadi ancaman laten. Keuntungan ekonomi jangka pendek tidak sebanding dengan kerugian jangka panjang: rusaknya tanah pertanian, hilangnya sumber air, dan risiko bencana yang diwariskan kepada anak cucu.

Desa Sambeng tidak menolak pembangunan. Warga hanya menolak pembangunan yang merusak. Menjaga tanah leluhur bukanlah sikap anti-investasi, melainkan bentuk tanggung jawab agar pembangunan tidak menciptakan penderitaan baru. Alam yang dirusak hari ini akan menagih harga yang jauh lebih mahal di masa depan.

Kasus Desa Sambeng seharusnya menjadi cermin. Bahwa tata ruang, perizinan, dan perlindungan lingkungan tidak boleh dijalankan secara administratif semata, apalagi tertutup. Negara hadir bukan untuk memuluskan eksploitasi, melainkan untuk melindungi warganya dari risiko yang bisa dicegah.

Jika Desa Sambeng kehilangan bukit dan tanah resapannya hari ini, maka banjir dan longsor esok hari bukan lagi musibah, melainkan bencana yang disengaja oleh kelalaian. Karena itu, bersuara dan menolak tambang di Sambeng adalah tindakan rasional, bermoral, dan konstitusional demi keberlanjutan hidup bersama.(*)

About kabarmagelang.com

Info terupdate seputar Kabar Magelang. Lejitkan dan Kembangan usaha Anda di Kabar Magelang
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:

Leave a Reply