Fritz Edward Siregar: Hanya Undang Undang dan Pengadilan yang Bisa Batasi Hak Politik
KOTA MUNGKID- Kordiv Hukum Bawaslu RI Fritz Edward Siregar SH, LL.M PhD menyatakan bahwa hanya UU dan keputusan pengadilan yang bisa membatasi hak politik warga negara. Karena itu, keputusan Bawaslu untuk meloloskan bacaleg mantan napi sudah tepat dan sesuai UUD 1945 dan UU Pemilu nomor 7 tahun 2017.
Fritz menjelaskan bahwa Bawaslu dalam bekerja selalu mengacu pada UUD 1945 dan UU Pemilu nomor 7 tahun 2017. Disebutkan UU Pemilu tidak melarang mantan narapidana korupsi menjadi caleg. Ia pun mempersilahkan masyarakat untuk membaca kembali UU Pemilu nomor 7 tahun 2017.
Disebutkan undang-undang secara tegas sudah menyatakan, bahwa seorang mantan narapidana yang telah menyelesaikan masa hukuman boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan sudah mengumumkan pernah berstatus sebagai narapidana kepada publik.
“Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dan UU 7 tahun 2017 Bawaslu meloloskan mantan napi. Kami Bawaslu hanya patuh pada UU. Selama Indonesia menjadi negara hukum ya ini harus dilakukan,” tegas Fritz dalam Diskusi Minggu Pagi di Pendopo Pengawasan Bawaslu Kabupaten Magelang, Minggu 2 September 2018.
Diskusi Minggu Pagi dihadiri lima komisioner Bawaslu Kabupaten Magelang MH Habib Shaleh, Sumarni Aini Chabibah, Fauzan Rofiqun, M Anwar Cholid, M Yasin Awan Wiratno, puluhan panwascam se-Kabupaten Magelang, Ketua Bawaslu Kabupaten Temanggung Erwin Nurachmani, Kasubag Administrasi Bawaslu Provinsi Jawa Tengah Setyo Prambudi, dan lainnya.
“Kita semua setuju korupsi adalah masalah besar di Indonesia. Kita juga setuju dana rakyat harus dilindungi namun kita jangan lupa bahwa ada hak individu, ada hak orang. Mantan napi dan bukan napi punya hak sama yang dilindungi UUD dan UU Pemilu. Kita semua harus patuh pada UU,” tegas pakar hukum tata negara dari STH Indonesia Jentera tersebut.
Fritz menyebutkan bahwa lembaga penegak hukum seperti KPK pun sangat selektif dalam mengajukan penambahan hukuman berupa pencabutan hak politik. Dari ratusan pelaku korupsi hanya beberapa saja yang hak politiknya diminta dicabut yakni Anas Urbaningrum, Ratu Atut Chosiyah, dan Akil Mochtar.
Ia mengatakan bahwa pencabutan hak politik memang dimungkinkan sesuai ketentuan pasal 35 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yakni hak-hak terpidana yang dapat dicabut dengan putusan hakim di antaranya hak memegang jabatan, hak memasuki angkatan bersenjata, serta hak memilih dan dipilih dalam pemilihan umum.
“Namun ingat pencabutan hak politik harus berdasarkan putusan pengadilan. Bawaslu bekerja untuk menegakkan keadilan pemilu. Sekarang kami serahkan kepada masyarakat untuk menilainya kenapa Bawaslu memutuskan demikian,” ujar dia.
Ketua Bawaslu Kabupaten Magelang MH Habib Shaleh menyebutkan ketegasan Bawaslu dalam memutus sengketa pemilu sesuai ketentuan UU Pemilu membuat Bawaslu hingga Panwascam menerima tekanan yang luar biasa dari sebagian kelompok masyarakat. Mereka hanya menilai jajaran Bawaslu sepintas saja tanpa melihat kinerja baik selama ini.
Namun demikian Habib menyatakan seluruh jajaran Bawaslu Kabupaten Magelang sudah siap melakukan pengawasan Pemilu Serentak 2019. Semua tekanan dan fitnah tidak akan membuat semangat jajaran pengawas pemilu surut namun justru menjadi motivasi untuk menegakkan keadilan pemilu dan menjaga hak pilih rakyat.
Disebutkan Bawaslu Kabupaten Magelang sudah membuat sejumlah program untuk pencegahan pelanggaran selama Pilkada Serentak 2018. Yakni diantaranya Kampung Anti Money Politik, Keluarga Anti Money Politik, Panwas Lillahitangala, Sambang Kampung, dan lainnya.
“Kami sedang menyusun program dan strategi pencegahan pelanggaran Pemilu 2019. Kemarin sudah kita selesaikan Indek Kerawanan Pemilu (IKP) 2019. Seluruh jajaran Bawaslu Kabupaten Magelang bangga menjadi bagian dari Bawaslu yang bekerja sesuai ketentuan UUD 1945 dan UU Pemilu
Tidak ada komentar: